Masyarakat merasakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) premium dua kali dalam beberapa bulan ini. Dari semula Rp 8.500 per liter menjadi Rp 7.600, kemudian diturunkan lagi menjadi Rp 6.500 per liter. Karena itu, yang terjadi di lapangan pun berkebalikan dengan yang sering terjadi. Dulu, menjelang diberlakukan kenaikan harga, biasanya antrean kendaraan mengular di tiap SPBU hingga menjelang tengah malam. |
Kemarin ini, mungkin masyarakat justru menahan diri dan menunggu sampai hari saat harga baru diberlakukan. Dengan demikian pengendara bisa memperoleh Premium dengan harga murah, atau dengan kata lain dengan uang yang sama bisa memperoleh Premium lebih banyak dibanding pada akhir tahun lalu. Hal ini tentu cukup melegakan, setidak-tidaknya bisa meringankan dari sisi pengeluaran biaya transportasi, meskipun harga barang-barang yang telanjur naik agak susah turun.
Dari drama naik, turun, dan turun lagi harga BBM ini bisa dipetik beberapa pelajaran. Intinya rupa-rupanya Presiden Jokowi by design sedang menyiapkan kultur masyarakat untuk siap dengan perubahan harga BBM, baik naik maupun turun, mengikuti harga minyak dunia. Penampilan Kepala Negara yang mengumumkan sendiri —tidak menyerahkan kepada menteri— rencana penurunan harga BBM menunjukkan desain kultural itu. Ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang memahami masyarakatnya.
Pencabutan subsidi BBM mau tak mau harus dilakukan karena subsidi memang menjadi beban APBN. Meskipun pada akhir 2014 ada tren harga minyak dunia turun, pemerintah tetap menaikkan harga Premium. Lihatlah perubahan perilaku masyarakat, dari semula terbiasa mengonsumsi BBM bersubsidi secara sukarela beralih kepada BBM nonsubsidi. Hal ini karena perbedaan harga premium dan Pertamax yang sangat sedikit. Lebih mahal sedikit, tetapi dapat BBM lebih bersih.
Warga yang sudah pernah merasakan harga Premium tinggi, sekarang ini menjadi terbiasa membeli Pertamax. Apalagi harga Pertamax juga ikut turun menjadi sama dengan harga Premium pada akhir tahun lalu. Tanpa terasa dan tanpa dipaksa, masyarakat mengubah pola konsumsi BBM dari yang bersubsidi ke BBM nonsubsidi. Kebijakan harga seperti ini ternyata lebih efektif dibandingkan imbauan di berbagai SPBU dan memasang stiker bahwa BBM bersubsidi hanya untuk warga kurang mampu.
Untuk selanjutnya penghapusan subsidi BBM ini akan menjadi lebih mudah. Tekanan terhadap APBN bisa dikurangi, karena subsidi berkurang. Dana subsidi bisa dialihkan ke penggunaan yang lebih efektif dan lebih produktif, berbarengan dengan kebiasaan masyarakat yang sudah mengonsumsi BBM nonsubsidi. Pertanyaannya sekarang, karena harga BBM dalam negeri mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, siapkah masyarakat dengan harga BBM sangat tinggi jika harga minyak dunia membubung? Seharusnya siap.
source : http://berita.suaramerdeka.com/
Dari drama naik, turun, dan turun lagi harga BBM ini bisa dipetik beberapa pelajaran. Intinya rupa-rupanya Presiden Jokowi by design sedang menyiapkan kultur masyarakat untuk siap dengan perubahan harga BBM, baik naik maupun turun, mengikuti harga minyak dunia. Penampilan Kepala Negara yang mengumumkan sendiri —tidak menyerahkan kepada menteri— rencana penurunan harga BBM menunjukkan desain kultural itu. Ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang memahami masyarakatnya.
Pencabutan subsidi BBM mau tak mau harus dilakukan karena subsidi memang menjadi beban APBN. Meskipun pada akhir 2014 ada tren harga minyak dunia turun, pemerintah tetap menaikkan harga Premium. Lihatlah perubahan perilaku masyarakat, dari semula terbiasa mengonsumsi BBM bersubsidi secara sukarela beralih kepada BBM nonsubsidi. Hal ini karena perbedaan harga premium dan Pertamax yang sangat sedikit. Lebih mahal sedikit, tetapi dapat BBM lebih bersih.
Warga yang sudah pernah merasakan harga Premium tinggi, sekarang ini menjadi terbiasa membeli Pertamax. Apalagi harga Pertamax juga ikut turun menjadi sama dengan harga Premium pada akhir tahun lalu. Tanpa terasa dan tanpa dipaksa, masyarakat mengubah pola konsumsi BBM dari yang bersubsidi ke BBM nonsubsidi. Kebijakan harga seperti ini ternyata lebih efektif dibandingkan imbauan di berbagai SPBU dan memasang stiker bahwa BBM bersubsidi hanya untuk warga kurang mampu.
Untuk selanjutnya penghapusan subsidi BBM ini akan menjadi lebih mudah. Tekanan terhadap APBN bisa dikurangi, karena subsidi berkurang. Dana subsidi bisa dialihkan ke penggunaan yang lebih efektif dan lebih produktif, berbarengan dengan kebiasaan masyarakat yang sudah mengonsumsi BBM nonsubsidi. Pertanyaannya sekarang, karena harga BBM dalam negeri mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, siapkah masyarakat dengan harga BBM sangat tinggi jika harga minyak dunia membubung? Seharusnya siap.
source : http://berita.suaramerdeka.com/